C-AFTA dan Solusinya

Sekarang ini kita dihadapkan pada fenomena serbuan produk China. Hal ini merupakan imbas dari trading agreement C-AFTA yang dijalankan sejak bulan Januari tahun 2010 yang mengacu pada fakta bahwa perkembangan perdagangan internasional mengarah pada bentuk perdagangan lebih bebas dalam berbagai bentuk kerjasama baik bilateral, regional, dan multilateral.


Secara teoritis, sebenarnya tujuan dari kerjasama ini adalah untuk memberikan dampak positif kepada semua negara yang terlibat, yang mana kerjasama ini diharapkan mempu meningkatan pertumbuhan domestik bruto riil dunia. Selain itu, perjanjian perdagangan ini diharapkan mampu memaksimalkan produksi yang melebihi permintaan dalam negeri dan ekspansi pasar ke luar negeri karena perbedaan kemampuan produksi tiap negara. Selain itu juga dengan adanya perjanjian kerjasama, sebuah negara dapat lebh fokus dalam memproduksi suatu jenis produk, dan dapat memberikan pilihan yang lebih banyak kepada konsumen.

Akan tetapi, fakta yang terjadi menunjukkan hasil yang sebaliknya. Dengan serbuan produk China, Indonesia mengalami penurunan industri dan penjualan industri dalam negeri. Menurut data survey kemenperin, dari 724perusahaan yang dilakukan survey sekitar 420 perusahaan menyatakan adanya penurunan produksi. Penurunan industri juga diikuti dengan penurunan omzet dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu rasio impor rata-rata juga meningkat.

Hal ini disebabkan oleh faktor harga produk china yang jauh lebih murah. Konsumen cenderung memilih produk barang yang harganya lebih terjangkau dan China benar-benar bisa memanfaatkan situasi ini. China mampu menekan biaya produksi yang berimbas berpalingya investor untuk membuka perusahaan di sana. Bagaimana sekarang kita bisa melihat perusahaan Nokia din Finlandia yang tutup dan Nokia membuka pabriknya di China, hal ini didorong karena ongkos produksi yang sangat murah. Jika kita melihat bagaimana China bisa menekan cost produksi, ada beberapa faktor pendukung tentunya, seperti bunga pinjaman yang relatif kecil, biaya tenaga kerja yang murah, sumber daya yang berlimpah baik dari segi kualitas maupun kuantitas, peran pemerintah sebagai pelayan dalam penyediaan kebutuhan industri.

Kembali kepada pemikiran substansial dari perjanjian perdagangan ini adalah bahwa tujuan dasar dari perjanjian ini adalah agar dapat mendorong produksi dalam negeri yang berfokus pada spesialisasi indurstri, dan mendorong para pengusaha untuk meningkatkan standar kualitas produk agar dapat bersaing dengan produk impor. Ini sebenarnya merupakan sebuah peluang bagi pemerintah untuk terus mendorong ekonomi bangsa ke arah yang lebih baik dan penciptaan jutaan lapangan pekerjaan. Hanya saja pemerintah mungkin belum jeli melihat situasi ini dan pada akhirnya perjanjian ini berbuah sebaliknya bagi industri di Indonesia.

Sebetulnya Indonesia memiliki potensi untuk bersaing dengan China. Sebagai contoh, kita bisa melihat negara-negara di Asia Tenggara menjadi bidikan para Investor untuk membuka pabriknya karena pertimbangan ongkos produksi yang rendah. Indonesia memiliki potensi SDM yang berlimpah dan berkualitas selain didukung oleh SDA yang melimpah.Solusinya adalah, bagaimana pemerintah dapat menjadi pelayan yang selalu siap mendukung keberhasilan industri melalui beberapa program. Lebih serius untuk membangun usaha kecil dan menengah dengan menyediakan fasilitas pendukung untuk kebutuhan produksi, menekan rate interest pinjaman untuk usaha kecil, membangun sarana dan prasarana yang mendukung, dan juga memanfaatkan potensi dalam lingkungan kampus untuk mengkomersilkan hasil-hasil penelitian mereka.

Itulah mungkin langkah-langkah awal yang dapat dilakukan agar kita mampu bersaing. Pemerintah mulai sekarang harus lebih serius dan lebih hati-hati dalam menetapkan kebijakan. Kita memang masih harus belajar banyak dari China. Semua komponen baik pmerintah, akademisi dan masyrakatnya saling membantu yang akhirnya China sekarang menjelma menjadi raksasa ekonomi.

No comments:

Post a Comment